Skip to main content

Biografi: Dalang Kasepuhan Dede Amung Sutarya


Foto : Alm. Dede Amung Sutarya

Lamun urang teu nanaon, diditu ge moal dinanaon. Tapi lamun didieu urang naon-naon, diditu ge niscaya bakal dinanaon...
Dede Amung Sutarya dilahirkan pada bulan Nopember 1950. Pendidikan yang ditempuh Dede Amung hanya sempat mencapai pendidikan Sekolah Teknik (ST) setingkat dengan Sekolah Menengah Pertama (SMP), khusus dalam bidang keterampilan teknik mesin. Kemandegan dalam menempuh pendidikannya dikarenakan oleh keinginannya untuk menjadi dalang. Oleh sebab itu ia kemudian berguru kepada Dalang kasepuhan Amung Sutarya, yang masih memiliki hubungan keluarga, yaitu sebagai kakak sepupunya atau anak Uwa, sehingga orang menyebutnya sebagai ‘Anak Amung’. Dari gurunya ini Dede Amung mendapatkan berbagai pengetahuan tentang pedalangan seperti amardawa lagu, amardibasa dan antawacana.
Ketika menginjak usia remaja, ia menikah dengan seorang gadis bernama Yati yang sering dipanggil Dedeh. Dari perkawinanya dikaruniai tiga orang anak bernama Wawan, Dewi dan Yeni. Karena sesuatu hal, perkawinannya tidak bisa dipertahankan, sehingga pada tahun 1971 Dede menceraikan Yati (Dedeh). Selama kurang lebih dua tahun Dede Amung menjalani kehidupan sebagai Duda. Pada tahun 1973 Dede kembali menemukan tambatan hatinya. Gadis yang mampu merebut hati Dede itu bernama Entin. Dari perkawinan ini Dede dikaruniai lima orang anak yakni Wiwit, Asep, Dian, Yoga dan Cinta. Perkawinan ini langgeng terbukti dengan kehidupan rumah tangganya yang awet hingga sekarang.
Tahun 1981 Entin harus rela menjadi istri tua, artinya harus rela dimadu, karena di tahun ini Dede Amung menikah lagi dengan seorang sinden dari Subang bernama Umay Mutiara. Dede Amung mengakui bahwa poligaminya ini tidak dilakukan sembunyi-sembunyi, bahkan dijelaskannya kedua istrinya sangat harmonis. Umay Mutiara sering mengunjungi rumah Entin, begitu pula sebaliknya. Mereka akur satu sama lain. Dari perkawinannya dengan Umay, dikaruniai dua orang anak bernama Ai dan Dandan. Sebagai kepala keluarga, Dede Amung dikenal sebagai ayah yang cukup keras dan disiplin dalam mendidik anak-anaknya. Dari kesepuluh anaknya, tiga orang diantaranya telah mengikuti jejak profesi sang ayah sebagai dalang. Mereka adalah Wawan Dede Amung Sutarya (Awan) berusia 43 tahun, Asep Koswara Dede Amung Sutarya 40 tahun, dan Dandan Dede Amung Sutarya 35 tahun.
Sejalan dengan bergulirnya waktu, nama Dede Amung pun semakin berkibar di dunia pedalangan. Ia dikenal sebagai dalang yang sangat kental dengan warna tradisinya, bahkan menurut para pengamat, Dede Amung memiliki ciri mandiri, khususnya dalam hal sekar dalang dan iringan gamelan wayang. Lebih jauh ditegaskan oleh para pengamat, bahwa Dede Amung seorang dalang yang memiliki kemampuan dalam pengetahuan wayang yang sangat luas termasuk memahami nilai-nilai filosofisnya, serta ditunjang oleh kemampuan dan keterampilan dalam mengolah sekar dalangdan iringan gamelan wayang. Dengan kalimat lain, selain memiliki keterampilan mendalang, Dede Amung memiliki pula pengetahuan yang luas tentang karawitan Wayang Golek.
Saat ini Dede Amung sudah termasuk kategori sebagai dalang kasepuhan yang memiliki ciri tersendiri. Dede Amung dikenal sebagai dalang yang kukuh pengkuh dalam bersikap untuk mengekspresikan pendiriannya. Sebagai contoh untuk mengupas sebuah persoalan, ia selalu memberikan pendekatan filosofis pada ragam waditra gamelannya. Seperti yang diungkapkan oleh Dede Amung Sutarya dalam wawancara dengan peneliti (17 Juli 2012), ”Cempala paneteg rasa, kecrek panghudang rasa, kendang panungtun wirahma, rebab haliringna rasa”.


”Cempala” sebagai alat yang dipakai dalang, konotasinya hampir sama dengan palu yang digunakan hakim untuk menjatuhkan keputusan dalam suatu perkara pengadilan. Artinya dalang harus memiliki kekuasaan penuh dalam sebuah pertunjukan, dalang yang bertindak sebagai sutradara, pengatur lakon, pemegang skenario, pengatur adegan, dan sebagainya. ”Kecrek” memberi ugeran yang pasti pada suasana adegan berikutnya, tergantung kebutuhan dramatik yang ditentukan dalang. Artinya memberi perintah dan diikuti oleh seluruh wiyaga (pemain gamelan) dan pesinden. ”Kendang” panungtun wirahma, jalan kehidupan sudah ada yang mengatur walaupun temponya kadang berubah-ubah tapi tetap iramanya terkendali dan kita yang mengatur dinamikanya. ”Rebab” menurutnya merujuk pada pengertian reb-rep sidakep ngarah apal bab-bab anu kawasa, da nu ngadoa mah rasa. (Bersujud berserah diri, supaya mengetahui dan menjalankan hal-hal yang diwajibkan oleh Allah SWT, karena yang berdoa adalah rasa, hati dan nurani). Ungkapan tersebut ditafsirkan sebagai tetekon padalangan.
Lebih jauh Dede Amung menegaskan bahwa baginya tetekon dan pakem itu perlu direnungkan, karena tetekon itu lakuning hirup, sementara pakem adalah semacam rem (kalau dalam kendaraan), dan agama (dalam kehidupan). Ia berpendapat bahwa manusia yang sudah benar pasti beragama, sementara orang yang beragama belum tentu berbuat benar. Oleh karena itu ia memandang bahwa orang Islam, harus bener dulu baru sholat. Jangan sholat dulu sebelum bener.Pesan moral seperti inilah diantaranya yang sering disampaikan Dede Amung pada masyarakat melalui media pertunjukan wayangnya.
Sebagai seorang dalang yang kental pada idiologi konservatif, Dede Amung sangat memegang teguh ritual yang disebut ”Tawajuh”. Menurutnya bahwa itu semacam ”guru ngistrenan murid”. Biasanya pada acara ritual ini, seorang calon dalang akan ditanya kesiapannya untuk menjadi dalang, apakah mereka sudah siap meninggalkan 7 M (maling, madon, mabok, madat, mangani, mateni dan maen). Hal ini penting untuk diketahui dan dijalan sebagaimana mestinya, karena seorang dalang harus mampu menjadikan dirinya sebagai guru bagi para penontonya. Seorang dalang harus memberikan suri tauladan dan memiliki kewibawaan. Dalang juga dituntut untuk tetap memegang aturan atau etika pergelaran dengan bercermin pada konsep ”panca curiga” atau panca S (Sindir, silib, siloka, simbul dan sasmita).
Sindir merupakan kritik, kecaman dan pujian yang diungkapkan dalam sebuah cerita yang disusun dan diungkapkan sedemikian rupa, sehingga halus serta tidak secara langsung menyinggu perasaan yang dikritik atau dikecamnya. Silib bagaikan suatu penerangan atau nasihat yang diselipkan dalam suatu tema adegan atau babak. Siloka wujud dari kalimat-kalimat yang harus digali kembali bila ingin mengetahui arti dan nilai-nilai sastra padalangan. Misalnya; Kebo mulih pakandangan, pucang labuh katuhu, yang memiliki makna bahwa kita hidup di dunia ini harus mampu menjawab, dari mana asal kita, apa fungsi kita hidup di dunia, dan kemanakah kita akan kembali. Persoalan ini harus diaplikasikan dalam kehidupan, agar dapat menemukan kebahagiaan dan kesempurnaan.

Simbul atau lambang adalah benda, gambar, lukisan atau kalimat yang dipergunakan sebagai ciri khas bagi yang mempergunakannya. Contoh karakter Rahwana sebagai simbul kemurkaan, keserakahan serta kedholiman. Rama simbul keadilan dan Darmakusumah (Samiaji) lambang kesucian dan segala simbul kebaikan. Sedangkan sasmita, dalam Kamus Umum Bahasa Sunda, adalah misil, silaka atau perlambang. Sumber lain mengatakan bahwa sasmita adalah isyarat-isyarat, tanda-tanda, atau tutur kata dalang untuk memerintahkan wiyaga dan atau juru kawih, untuk melaksanakan sesuatu. Sebagai contoh, menginginkan gending Gawil, dalang akan menuturkan ”Kadia kuda ditongankeun..”, kemudian wiyaga segera melaksanakan gending yang dimintanya.
Dede Amung Sutarya adalah salah seorang dalang yang dipandang memiliki kelebihan dalam bidang sekar dalang, di antaranya pada aspek:
a) Kawiradya, kemampuan dalang dalam menceritakan setiap tokoh, terutama tokoh Raja, melalui bahasa kawi. Kemampuan Dede dalam mengungkapkan jejer atau adegan berikutnya dengan menggunakan bahasa kawi sangat mumpuni, karena disitulah keunggulannya dibanding dalang-dalang dari paguron lain.
b) Paramakawi, yaitu kemampuan dalang dalam menguasai tata bahasa kawi. Dalam hal penguasaan tata bahasa dalam bahasa kawi, masih sangat dipertahankan oleh dalang Dede. Hal ini bertujuan untuk memberi gambaran bahwa kemampuan dalang harus menguasai unsur-unsur bahasa kawi dengan benar.
c) Paramasastra, yaitu kemampuan dalang dalam mengolah sastra yang berkaitan dengan bahasa-bahasa yang digunakan dalam berbagai aspek. Dalam hal penguasaan sastra ini, tidak terbatas pada bahasa kawi, akan tetapi bahasa pokok dalam pengentar pertunjukan wayang golek yakni bahasa Sunda, dalang Dede lebih sering mengangkatnya dengan sastra Sunda melalui dialog dan sastra lagu.
d) Amardibasa, yaitu kemampuan dalang dalam menggunakan tata bahasa atas kepentingannya dalam berbagai tokoh. Dalam bahasa Sunda dikenal dengan istilah undak usuk basa. Konsep undak usuk inilah yang menjadi modal utama dalang Dede dalam menampilkan antawacana antara para tokoh wayang dalam jejer atau babak yang sedang berlangsung.
Visualisasi dari keempat aspek diatas, diungkapkan melalui bentuk murwa, nyandra, kakawen, dan antawacana karena penguasaan terhadap aspek amardawalagu, Dede memiliki kelebihan dibandingkan dalang-dalang lainnya yang saat ini masih berjaya. Indikasi-indikasinya, Dede masih memegang teguh ketentuan-ketentuan yang ada di dalamnya, yang dikemas melalui lantunan-lantunan melodi lagu yang dibuatnya sendiri, di antaranya:
1) Pada umumnya apabila gending jejer ngawitan menggunakan gending Kawitan, maka murwa pun menggunakan lagu kawitan. Sedangkan Dede Amung, ia selain menggunakan murwa lagu kawitan, sering pula menggunakan murwa lagu Sungsang, lagu Bendra, lagu Kastawa, bahkan lagu-lagu jenis lagu Lenyepan, seperti lagu Tablo. Hal itu tidak pernah dilakukan oleh dalang-dalang lainnya, baik dalang-dalang yang saat ini masih berjaya, maupun oleh dalang-dalang sebelumnya. Walaupun menggunakan lagu yang sama, Dede memiliki sentuhan-sentuhan kreatif dengan memberikan ornamen tertentu, dan senggol yang berbeda dengan dalang lainnya. Lihat lampiran notasi No. 1 dan No. 2.
2) Ketika menceritakan seorang tokoh wayang melalui nyandra, Dede tidak terlepas dari aspek kawiradya, paramakawi, dan paramasastra. Misalnya, ketika ia akan mengeluarkan tokoh Gatotkaca, maka ia akan mengawalinya nyandra Gatotkaca, yang digarap dengan bentuk nyandra galantang, dan nyandra haleuang.
3) Ketika Kakawen, penggunaan laras dan alur melodi Dede menggubahnya dengan gayanya tersendiri. Lihat lampiran No.4 dan No. 5
4) Dede dikenal pula dengan produktifitasnya dalam lagu-lagu yang sering dibawakan oleh tokoh panakawan, yang menjadi kekhasannya, baik yang merupakan ciptaannya maupun ciptaan orang lain.
5) Lagu-lagu pengiring tokoh-tokoh tertentu, Dede sering membuat sensasi, misalnya tokoh Gatotkaca yang pada umumnya menggunakan lagu Macan Ucul atau lagu Barlen, sedangkan dalang Dede Amung menggunakan lagu Garuda Pancasila dalam versi Sunda.
6) Hal yang paling fenomenal, Dede Amung Sutarya merupakan salah seorang dalang yang pertama mempopulerkan Gamelan Selap (gamelan multi laras, yang kini diikuti oleh para dalang seperti Asep Sunandar, Ade Kosasih Sunarya, Tjetjep Supriadi, dan dalang-dalang muda yang saat ini sudah mulai dikenal di masyarakat).
Kelebihan-kelebihan itulah yang tidak banyak dimiliki oleh dalang-dalang lain, sehingga saat ini gaya Dede Amung banyak diikuti oleh dalang-dalang lainnya terutama dalang kalangan muda. Walaupun bukan muridnya secara langsung, dalam istilah lain murid jiplak atau hanya sekedar meniru dari pertunjukan langsung maupun lewat audio visual dan media rekam.

Anak dan cucunya yang meneruskan profesinya sebagai dalang diantaranya :

  1. Wawan Dede Amung Sutarya, Munggul Pawenang Putra (Anak)
  2. Asep Koswara Dede Amung Sutarya, Pusaka Munggul Pawenang (Anak)
  3. Dandan Dede Amung Sutarya, Putra Munggul Pawenang (Anak)
  4. Yoga Dede Amung Sutarya, Putra Munggul Pawenang (Anak)
  5. Sensen Wawan Dede Amung Sutarya, Munggul Pawenang Putu (Cucu)
Sebagai Ketua Yayasan Pedalangan yang memiliki wewenang sebagai penyelenggara Binojakrama Pedalangan, Dede Amung masih sangat konsisten memberi motivasi dan terjun secara langsung dalam mengarahkan sampai pada tataran teknis penyelenggaraan.Kiprahnya sebagai ketua Yayasan Pedalangan memiliki arti yang sangat strategis dalam mengelola dan mensosialisasikan program-program yang terkait dengan pelestarian dan perkembangan pedalangan di Jawa Barat.
Selain sebagai Ketua Yayasan Pedalangan Jawa Barat, kiprahnya dalam usaha pelestarian pedalangan juga diwujudkan dengan aktifitasnya sebagai Anggota Dewan Pakar pada kepengurusan SENAWANGI (Sekretariat Nasional Pedalangan Indonesia) periode tahun 2011-2016, bersamaan dengan Dalang Anom Suroto dan Ki Manteb Soedarsono. Artinya Dalang Dede Amung akan berbicara wacana dan langkah-langkah nyata pada tingkat nasional.
Sumber : Cahyadi, Ojang (2013) PELATIHAN SEKAR DALANG WAYANG GOLEK DI PAGURON MUNGGUL PAWENANG KOTA BANDUNG. S2 thesis, Universitas Pendidikan Indonesia. (Dengan sedikit perubahan)

Comments

Popular posts from this blog

Download Koleksi Wayang Golek R.H. Tjetjep Supriadi

R.H. Tjetjep Supriadi adalah salahsatu dalang kasepuhan wayang golek gagrak purwa Sunda yang berasal dari Kab. Karawang. Beliau adalah sang maestro yang terkenel di dekade 60-an hingga 70-an.  Beda dengan persebaran media pada zaman sekarang yang serba mudah. Saat itu, penyebaran media sangatlah terbatas. Namun, pada masanya beliau dikenal dan digemari oleh kalangan penggemar wayang golek dari berbagai wilayah selain dari Karawang, bahkan dari Subang, Bandung, Sumedang, Bogor, dll.      Yang paling khas dari beliau adalah penjiwaan lakon, dramatisasi adegan, serta yang paling fenomenal adalah haleuang wayang beureuman atau Rahwana. Berikut adalah sebagian lakon yang admin dapatkan dari berbagai sumber dan bisa didownload : 1. BABAD BANTEN (Google Drive) Babad Banten Part 1 Babad Banten Part 2 Babad Banten Part 3   Babad Banten Part 4 Babad Banten Part 5   Babad Banten Part 6   Babad Banten Part 7   ...

[MENGENANG] DALANG ADE KOSASIH SUNARYA - SANGHIANG PAKSI WULUNG - AUDIO ...